Netizen si maha benar. Pernah mendengar kalimat tersebut? Nyatanya menjadi “masyarakat dunia maya” membuat orang sangat berani berpendapat. Entah benar, entah salah, siapa peduli yang penting unek-unek tersampaikan. Tak berfikir apakah komentar yang diketik akan menyinggung, menyakiti, bahkan bisa sampai mengakibatkan penyakit mental.
Membicarakan tentang netizen julid memang menggemaskan. Namun, pernah kah terpikir mungkin kita adalah bagian dari netizen itu? Hehehhe.
Kalau saya, rasanya pernah. Walaupun maksud saya tidak julid, bisa saja dianggap julid oleh orang yang saya komentari. Biasanya saya tidak bisa menahan diri ketika melihat sesuatu yang bertentangan dengan kelilmuan dan pendapat para ahli.
Misalnya, saat melihat postingan MPASI yang dibuat seorang teman. Dia membuat MPASI sama seperti Mpasi yang saya buat dulu. Masalahnya sekarang saya tau jika cara itu kurang tepat, bahkan bisa menyebabkan mal nutrisi. Jempol ini ingin sekali beraksi. Toh maksudnya baik, supaya bayinya tak kekurangan gizi. Eeittsss … tahan dulu. Bukankah niat baik juga seharusnya dilakukan dengan cara yang baik.
Saya lantas berpikir lagi. Apa dampak jika saya mengemukakan komentar yang kontra di postingan itu. Lebih sopan kalau saya kirim direct message atau kirim chat whatsapp yang sifatnya pribadi. Mengirim pesan pribadi pun harus ditimbang-timbang. Jangan sampai niat kita memberitahu karena sayang berakhir dengan bersitegang. Baiklah, sebaiknya diam dan lewatkan saja. Skip. Hehehhe
Pada lain waktu, saya melihat postingan seorang ibu yang menggendong bayinya. Beliau menggendong bayi dengan posisi yang kita tau kurang aman. Mmmm.. rasanya si jempol sudah tidak bisa ditahan. Tapi tolong rem tetep dipakemkan. Jangan sampai si jempol merasa maha benar, dengan secuil ilmu yang dibaca dan didengar.
Melihat berbagai postingan yang kita tahu (atau sok tahu) kurang tepat, tak jarang membuat kita ingin sekali berkomentar. Apalagi jika pendapat kita itu dilatarbelakangi ulasan dan pendapat seorang ahli. Maka keinginan berkomentar semakin menjadi-jadi. Seringnya niat kita mengingatkan karena sayang. Namun, terkadang yang diperhatikan tidak butuh sayang yang seperti itu. Jadi ya jangan memaksakan diri. Karena sayang tak seharusnya menyerang bukan?
Dikembalikan saja pada diri sendiri. Apakah kita ahli nutrisi? Apakah kita ahli ortopedi? Kalau bukan kok yakin sekali mau membenarkan. Ya walaupun niatnya karena sayang. Tapi bukankah Ilmu itu sifatnya tidak statis? Ia berkembang seiring penemuan terbaru, yang saya artikan tidak ada kebenaran mutlak seratus persen. Untuk itulah kini aku berusaha mengendalikan jempol sok benarku.
Semua adalah ibu terbaik untuk anaknya. Kalau tidak ditanya tidak usahlah kita repot mancing mania.. eh, mancing perkara.
Malang, 25 Februari 2022
Salam hangat dari netizen julid yang ingin bertaubat.