“Agama tanpa logika Lumpuh”
“Logika tanpa agama Buta”
Dua kalimat yang tertulis di salah satu poster besar saat penyambutan santri baru di madrasah saya dulu. Dua diantara puluhan kalimat lain yang saya baca saat itu. Entah mengapa dua kalimat ini begitu menempel di ingatan saya.
Mungkin karena saya setuju dengan kalimat tersebut.
Kalimat yang semakin kesini semakin terasa amat relevan. Beberapa waktu yang lalu misalnya, banyak sekali fenomena prinsip yang sepertinya masuk akal dan sesuai logika. Akan tetapi jika ditelaah lagi akan sangat bertolak belakang dengan prinsip kehidupan. Sebut saya fenomena child free, berbagai alasan dikemukakan oleh orang yang memiliki prinsip ini. Terdengar baik dan sangat masuk akal. Tapi…
Bagaimana jika dulu orang tuanya memiliki prinsip child free juga, mungkinkah dia ada di dunia saat ini? Tidakkan dia bersyukur dengan kehidupan dan keberadaannya kini?
Begitupun dengan kalimat satunya, agama tanpa logika memang akan lumpuh. Dengan banyaknya khilafiah, banyak perbedaan ulama dalam menghukumi sesuat. Maka dalil naqli yang berupa akal dan logika bisa dijadikan filter. Hukum mana yang sejalan dengan nilai kehidupan dan keadaan lingkungan kita. Dengan catatan, hukum yang kita pilih juga merupakan hasil dari ijma’ para ulama.
Sebagai ibu, salah satu peran penting saya adalah menstimulasi anak-anak dengan ilmu agama dan mengasah logika mereka. Walaupun masih jauh dari sempurna, terselip harapan semoga proses saya membersamai mereka bisa dijadikan bekal hidupnya.
Untuk memudahkan saya mengasah logika mereka, saya menggunakan beberapa media. Salah satunya adalah buku. Seperti yang disebutkan di judul, buku Unplugged Coding ini saya rasa bisa digunakan untuk mengasah logika anak-anak.

Awalnya otak saya selalu mengidentikkan kata coding dengan kode biner 0-1 yang digunakan untuk pemrograman komputer. Sungguh pusing sekali jika harus mempelajari ini, karena semasa saya SMA dulu bab coding di pelajaran TIK benar-benar terasa sulit. Ternyata buku coding untuk anak-anak ini jauh dari kesan itu. Bahkan terkesan lucu dengan gambar-gambar yang ada di dalamnya.
Dalam buku unplugged coding, level kesulitan dibagi menjadi tiga. Level mudah dimulai untuk usia 5 tahun. Semacam “pemanasan” untuk anak-anak usia ini. Coding yang digunakan cukup mudah tapi tetap terasa pengasahan logikanya.
Ukuran buku yang besar, memudahkan anak-anak untuk mengerjakan soal-soalnya. Diselingi dengan lembar mewarnai menjadikan anak tidak bosan, mungkin bisa sekaligus menyeimbangkan otak seninya. Kenapa mungkin? Ya karena ini hasil cocoklogi saya semata, hehehhe.
Kadang merasa sayang jika buku ini hanya bisa dikerjakan sekali saja. Karena bukunya memang bukan buku tulis hapus yang bisa dipakai berkali-kali. Untuk mengakalinya, saya pakai lakban transparan supaya bisa dikerjakan dan dihapus. Maklum ya ibu-ibu hemat, hehehe. Tentu tidak semua aktivitas bisa dilakban seperti ini. Lembar mewarnai misalnya, tidak puas rasanya jika mewarnai berakhir dengan dihapus lagi.

Yang saya suka adalah konten aktivitas yang diselingi pengetahuan. Karena buku ini pula saya lebih sering menjelaskan tentang arah. Kanan, kiri, atas, dan bawah. Banyak aktivitas coding di buku ini yang menggunakan panah sebagai penunjuk arah. Menurut saya, belajar arah ini akan semakin memantapkan kemampuan pra membaca anak. Namun, hal yang utama dari semua itu adalah anak belajar, mengasah logika tetapi merasa enjoy dan tidak tertekan. Belajar dengan suka rela. Merasa belajar hanya bermain saja.