Uncategorized

Pasar Gandu

Tiktuk.. Notifikasi HP-ku berbunyi pertanda ada pesan WA yang masuk. Ternyata pesan dari pak kurir yang meminta share loc alamat Bapak. Paket yang aku kirimkan untuk bapak memang sengaja kuberi kontakku, agar bapak tidak perlu repot menjawab. Kuberitahukan kepada pak kurir bahwa aku tidak bisa mengirim share loc, tapi aku bisa mengirim detail alamat dan foto rumah bapak.

Segera kubuka g-maps, dan mencari alamat Bapak. Klik street view, dan seketika foto rumah Bapak terpampang nyata.

Setelah mengirim screenshot kepada pak kurir, kulanjutkan berpetualang dengan panah navigasi street view. Kupilih menelusuri panah ke arah timur. Sarana nostalgia yang sangat efektif. Ingatanku pun menerawang, ada begitu banyak kisah dan cerita di sepanjang jalan itu. Dulu selama 11 tahun, aku melewati jalan ini setiap hari. Sekolahku mulai dari TK, MI, sampai MTS mengharuskanku melewati jalan ini.

Entah kenapa tanganku terhenti di pin yang bertuliskan “pasar gandu.” Pasar yang sampai sekarang memegang rekor paling banyak kukunjungi. Walau mungkin sudah 6 tahun terakhir ini tak pernah kusambangi lagi.

Kuingat sudut-sudutnya dengan baik. Dimana tukang jualan mainan berada, dimana bakul sayur langganan ibu menggelar lapaknya, dimana penjual lempeng gaplek favorit Bulek. Serta dimana lapak penjual dawet yang selalu kami singgahi sebelum pulang.

Ingatan terjauh yang bisa ku jangkau adalah saat aku umur 5 tahun. Saat hidungku sakit dan menunggui ibu belanja. Aku setia menunggu dipintu pasar bersama Bapak. Aku juga ingat letak dan suasana saat menemani ibuk berbelanja kunyit, jahe, kencur, dan temu lawak. Rempah-rempah untuk membuat jamu tradisional dagangan Ibu. Ah.. Bahkan wajah Penjual kunyit pun masih terekam jelas diotakku.

Di pasar ini pula, terjadi sejarah besar dalam hidupku. Waktu itu aku duduk di kelas empat madrasah ibtidaiyah. Seperti biasa aku ikut ibu berbelanja. Aku mengenakan baju coklat berlengan pendek, dan rok yang panjangnya sampai bawah lutut. Jilbab hanya aku kenakan di sekolah saja. Saat keluar bahkan ke pasar aku belum terbiasa memakainya.

Hari itu, dilapak sayur langganan ibu tiba-tiba aku merasa sangat malu. Entah karena bertemu dengan beberapa guru, atau memang saatnya hidayah datang menyapaku. Perasaan malu ini sangat tak biasa. Aku menarik-narik lengan bajuku. Seakan lengan itu bisa kupanjangkan. Aku berusaha bersembunyi di belakang ibu. Menyembunyikan betisku. Aku merasa seperti orang telanjang yang dilihat banyak mata. Aku terus memejamkan mataku. Mengajak ibu segera pulang dan menceritakan perasaanku setiba kami di rumah.

Tak kusangka Ibu malah bahagia mendengar ceritaku. Katanya aku sudah dewasa. Aku sudah mengenal rasa malu. Lalu ibu memberitahuku untuk mengenakan baju panjang dan jilbab agar aku merasa nyaman.

Saat itu lah ku mulai lebih disiplin memakai jilbabku. Walau mungkin belum sempurna karena di halaman rumah aku masih nyaman tak mengenakannya.

Jika sekarang aku renungkan, betapa beruntungnya diriku. Allah memberi hidayah kepadaku dengan rasa malu. Tanpa paksaan dan perintah bapak ibu aku mengenakan hijabku.

Tugasku selanjutnya adalah bagaimana menanamkan rasa malu kepada putriku. Bagaimana agar dia menjaga izzahnya. Karena “Malu” adalah sebagian dari iman. Karena “Malu” adalah hal yang sekarang sudah langka untuk ditemukan. Atas nama eksistensi, dengan dalih menyalurkan hobi, wanita tak lagi malu joget sana-sini. Disaksikan ribuan pasang mata melalui berbagai media sosial. Memang, media sosial memiliki dua sisi. Positif dan negatifnya tergantung si pengguna. Mendulang manfaat dan pahala bisa, mendulang dosa pun lebih mudah caranya.

Dengam perkembangan digital sekarang ini, bahkan aku tidak bisa membayangkan bagaiaman sepuluh atau dua puluh tahun lagi. Saat putra putriku beranjak dewasa nanti. Semoga teknologi tak mengikis rasa malu mereka.

Kutitipkan penjagaan putra-putri kami Ya Allah.. Semoga mereka tetap berada dalam koridor hidayahMu.

Uncategorized

Netizen Julid

Netizen si maha benar. Pernah mendengar kalimat tersebut? Nyatanya menjadi “masyarakat dunia maya” membuat orang sangat berani berpendapat. Entah benar, entah salah, siapa peduli yang penting unek-unek tersampaikan. Tak berfikir apakah komentar yang diketik akan menyinggung, menyakiti, bahkan bisa sampai mengakibatkan penyakit mental.

Membicarakan tentang netizen julid memang  menggemaskan. Namun, pernah kah terpikir mungkin kita adalah bagian dari netizen itu? Hehehhe.

Kalau saya, rasanya pernah. Walaupun maksud saya tidak julid, bisa saja dianggap julid oleh orang yang saya komentari. Biasanya saya tidak bisa menahan diri ketika melihat sesuatu yang bertentangan dengan kelilmuan dan pendapat para ahli.

Misalnya, saat melihat postingan MPASI yang dibuat seorang teman. Dia membuat MPASI sama seperti Mpasi yang saya buat dulu.  Masalahnya sekarang saya tau jika cara itu kurang tepat, bahkan bisa menyebabkan mal nutrisi. Jempol ini ingin sekali beraksi. Toh maksudnya baik, supaya bayinya tak kekurangan gizi. Eeittsss … tahan dulu. Bukankah niat baik juga seharusnya dilakukan dengan cara yang baik.

Saya lantas berpikir lagi. Apa dampak jika saya mengemukakan komentar yang kontra di postingan itu. Lebih sopan kalau saya kirim direct message atau kirim chat whatsapp yang sifatnya pribadi. Mengirim pesan pribadi pun harus ditimbang-timbang. Jangan sampai niat kita memberitahu karena sayang berakhir dengan bersitegang. Baiklah, sebaiknya diam dan lewatkan saja. Skip. Hehehhe

Pada lain waktu, saya melihat postingan seorang ibu yang menggendong bayinya. Beliau menggendong bayi dengan posisi yang kita tau kurang aman. Mmmm.. rasanya si jempol sudah tidak bisa ditahan. Tapi tolong rem tetep dipakemkan. Jangan sampai si jempol merasa maha benar, dengan secuil ilmu yang dibaca dan didengar.

Melihat berbagai postingan yang kita tahu (atau sok tahu)  kurang tepat, tak jarang membuat kita ingin sekali berkomentar. Apalagi jika pendapat kita itu dilatarbelakangi ulasan dan pendapat seorang ahli. Maka keinginan berkomentar semakin menjadi-jadi. Seringnya niat  kita mengingatkan karena sayang. Namun, terkadang yang diperhatikan tidak butuh sayang yang seperti itu. Jadi ya jangan memaksakan diri. Karena sayang tak seharusnya menyerang bukan?

Dikembalikan saja pada diri sendiri. Apakah kita ahli nutrisi? Apakah kita ahli ortopedi? Kalau bukan kok yakin sekali mau membenarkan. Ya walaupun niatnya karena sayang. Tapi bukankah Ilmu itu sifatnya tidak statis? Ia berkembang seiring penemuan terbaru, yang saya artikan tidak ada kebenaran mutlak seratus persen. Untuk itulah kini aku berusaha mengendalikan jempol sok benarku.

 Semua adalah ibu terbaik untuk anaknya. Kalau tidak ditanya  tidak usahlah kita repot mancing mania.. eh, mancing perkara.

 

Malang, 25 Februari 2022

Salam hangat dari netizen julid yang ingin bertaubat.

 

Uncategorized

Jawa Tulen yang Kurang Njawani



Bahasa yang saya dengar dan saya ucapkan semenjak kecil adalah bahasa Jawa. Bahasa keseharian di rumah adalah bahasa Jawa. Sayangnya keluarga kami terbiasa memakai Jawa ngoko alias Jawa kasar. Saya kurang bisa memakai kromo alus dan kromo inggil. Kadang malah susah membedakan mana kromo alus dan kromo inggil.

Sebenarnya bapak adalah guru SD, guru yang memegang semua mata pelajaran SD. Bahasa Jawa salah satunya. Beliau mahir nembang, dan menulis hanacaraka. Tapi saya selalu menghindar jika diajak belajar bahasa Jawa. Maka muncullah kalimat bapak untuk saya, “Jowo seng gak njawani.” Begitulah… pelajaran bahasa Jawa sampai SMP hanya sepintas lalu saja untuk saya. Bahkan huruf hanacaraka yang bisa saya ingat sekarang hanya aksara yang dibaca ra, karena bentuknya mirip huruf n.

Cerita selanjutnya tentang bahasa Jawa dan saya terjadi saat saya merantau. Pertama merantau jauh dari rumah adalah saat kuliah. Saya kuliah di universitas negeri Surabaya. Bahasa yang dipakai sama-sama bahasa Jawa. Tapi ternyata bahasa Jawa Ponorogo dengan bahasa Jawa  Surabaya sangat berbeda. Saya merasa di Ponorogo bahasa saya ngoko kasar, setelah sampai Surabaya perasaan ini berubah. Sekasar-kasarnya ngoko Ponorogo terdengar halus jika dipakai di Surabaya.

Ada beberapa kata yang mirip pelafalan, tapi berbeda jauh maknanya. “Mari”, di Ponorogo kata mari digunakan untuk menyatakan sembuh dari penyakit. Maka saat teman kuliah saya bertanya, “kon wes mari ta?” saya menjawab “loh aku gak loro”. Ya pantas saja jika ditertawakan. Karena mari di Surabaya artinya selesai. Selesai melakukan apa pun disebut mari. Satu lagi kata yang masih membekas di ingatan saya adalah “bujuk”. Sepengetahuan saya bujuk artinya merayu. Ternyata di Surabaya bujuk adalah bohong. Jauh sekali bukan? Maka awal perantauan saya lalui dengan banyak tertawa karena perbedaan bahasa.  Satu hal yang menjadi catatan saya adalah, walau sudah beberapa tahun tinggal di Surabaya sebaiknya jangan menggunakan kata atau frasa khas suroboyoan di kampung halaman. Karena akan menimbulkan banyak kesalahpahaman.

Memang bahasa Jawa memiliki banyak versi. Jangankan Ponorogo Surabaya yang berjarak ratusan kilo meter. Daerah asal saya dan suami yang sama-sama Ponorogo pun memiliki perbedaan kosa kata. Contohnya, saat awal menikah saya tidak paham dengan beberapa kata. Yang paling teringat adalah kata “bok”. Ditempat saya tidak ada penggunaan kata ini. Tapi di daerah suami “bok” ini sangat populer digunakan sehari-hari. Bok disini diartikan tidak ada, tidak punya. Sedangkan di daerah asal saya tidak punya memakai frasa “ora  nduwe”.

Sekarang saya tinggal di Malang dan jarang menemui “language shock” karena jarang bergaul dengan warga asli. Di lingkungan perumahan mayoritas orang menggunakan bahasa Indonesia untuk komunikasi sehari-hari.

Demikian cerita yang tak seberapa dari saya yang mulai berpikir bagaimana mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anak. Sedikit menyesal ya, kenapa dulu tidak belajar kromo alus dan kromo inggil yang sopan. Saya terlalu egois berpikir kalau saya  tidak terlalu memerlukannya. Tapi ternyata kromo ini penting untuk mengajarkan kesopanan kepada anak-anak saya.

Uncategorized

Screen time bentuk egoisku???

Screen time adalah babysitter andalanku. Ia memang sangat membantu saat aku ingin memiliki waktu yang agak longgar. Waktu longgar untuk sekedar meluruskan punggung, atau waktu longgar untuk memasak dan berkutat di dunia domestikan lainnya. Jujur tanpa screen time memasak sop saja bisa 1 jam lebih. Kenapa? karena dipanggil anak-anak untuk ini itu. Komplen ini itu, minta ini itu, dan “ini itu ini itu” yang lain.

Tapi tak  aku pungkiri banyak sekali sisi yang aku benci dari screentime ini. Salah satunya adalah berkurangnya kreativitas anakku. Mereka duduk diam terpaku pada layar itu. Eh bukankah memang itu tujuannya? Agar mereka anteng! Tujuan tercapai tapi aku malah benci. Gak jelas banget sih aku.. 

Hal lain yang aku benci adalah fokus anak. Mereka cenderung tidak bisa mendengarkan apa yang saya bicarakan. Cuek, Tidak tanggap apa yang terjadi disekitarnya. 

Benci ini lah yang membuat saya meniadakan screen time. Itu terjadi dulu sekali saat kak F berumur 3 tahun. Yang terjadi? Saya yang tidak waras. Mungkin ibu lain bisa memiliki kondisi ideal. Tapi sangat sulit untuk saya saat dunia mereka hanya terpusat kepada saya. Dampak terburuknya adalah emosi saya yang tidak terkendali. Akhirnya mereka juga yang terkena imbasnya. Saya gampang marah, gampang ngambek. 

Akhirnya diputuskan untuk menjadwalkan screen time. Boleh, tapi tidak berlebihan. Selain itu kami juga memakai tv saja untuk screen time mereka. Alasannya jaraknya bisa lebih jauh dari mata, dan tidak bisa dibawa kemana-mana. Pun lebih mudah diawasi, anak tidak bisa mengakses channel-channel aneh dengan sembunyi-sembunyi. 

Sampai hari ini Alhamdulillah kakak menurut dengan jatah “screentime”. Kakak akan segera matikan tv nya ketika saya bilang waktunya telah usai. PR terbaru adalah membuat arek mengerti akan regulasi screen time di rumah kami. 

Tidak sesuai teori memang, tapi itulah yang paling nyaman untuk semua anggota keluarga. Akhirnya ilmu parenting memang harus disesuaikan dengan kenyamanan keluarga. Tanpa melupakan prinsip dasar dari ilmu parenting yang sudah dibuktikan secara ilmiah.

Uncategorized

Pawon TigaLapan, Pawon pemersatu selera keluarga

Pernah gak sih buk ibuk pengen beli menu kesukaan, tapi anak-anak gak suka sama menu itu? Saya sering! Hihihihi

Saya adalah penggemar rujak petis, tahu tek, tahu telur, gado-gado, dan berbagai olahan dengan siraman saus kacang lainnya. Kebetulan anak-anak tidak terlalu suka saus kacang. 

Jadi biasanya kalau “jajan” saya ngalah ke selera mereka. Emak mah, sisa makanan anaknya aja dimakan. Apalah artinya kalau cuma ngalah menu makanan, heheheh. 

Kenapa tidak jajan dari resto berbeda? Kalau jajan daring sayang di ongkos kirim ya buk ibuk … Kalau jajan luring males mampir banyak tempat. Jajan daring, jajan luring, dah macam pembelajaran ya Mak … Hihihihi …

Anak-anak saya suka mie ayam. Teman sepaket yang biasa membersamai mie ayam adalah bakso. Paling banter ya mie goreng, mie rebus, dan mie-mie yang lain. Jarang sekali menemui depot mie ayam yang juga menjual tahu tek, rujak cingur, atau tahu telur.

Eh, ternyata keresahan saya tersebut kemudian terjawab oleh satu tempat makan. Pawon tigalapan namanya. Saya menemukan pawon ini dari status WA salah seorang teman. Ternyata oh ternyata, pawon tigalapan ini juga milik teman saya yang lain. Tambah semangat dong untuk mencoba. Produk olahan seseorang yang kita kenal akan terasa lebih aman. Pasti higienis karena apa yang beliau jual juga dikonsumsi oleh keluarganya. Jadi bisa dibilang pasti dipilihkan bahan baku yang segar dan berkualitas baik.

Saat “hari jajan” tiba, saya memesan melalui aplikasi go food. Menu yang saya pesan tentu saja tahu telur. Menu yang sudah lama saya rindukan.. hehehhe.

 Anak-anak?? Tenang, disini mereka bisa memilih menu ayam laos atau pangsit mie ayam.

Tak perlu menunggu lama makanan pun datang.  Pangsit mie untuk anak-anak berlimpah toping ayam. Gurihnya ayam selalu ikut di setiap sendokan. Anak-anak pun memakannya dengan lahap.

Bagaimana dengan ibunya anak-anak? Jangan ditanya lagi, itu tahu telur habis dalam hitungan menit. Saus kacangnya mantap, asinnya pas, manisnya pas. Konsistensi dari sausnya juga tepat. Kan Bete banget ya kalau dapet saus kacang yang kebanyakan air? Tenang di pawon tigalapan si saus ayam tak akan kekurangan air. 

Info tambahannya, pawon tigalapan bisa dipesan melalui go food, grab food, ataupun shoppe food. Pilih deh sesuai akun mu yang mana yang sedang promo. Wkwkkk

Lokasi juga jadi pertimbangan ya bu kalau pesan online gini? Lokasi “pawon” ini ada di singosari. Area singosari, karangploso, dan sekitarnya bisa banget ni dicoba. Recommended.

Uncategorized

Warung Wareg Mau Diviralkan?????

Warung Wareg, tempat makan yang menyediakan aneka masakan. Mulai dari olahan ikan, ayam, udang , terong, sampai sop iga sapi. Semua ada disini.

Di malang, Warung ini sudah beranak pinak. Alias punya banyak cabang. Sedari hamil fadhil dulu, kami suka berkunjung kesini. Kebetulan saya dan suami bukan tipe yang suka coba-coba tempat makan. Jadi kalau sudah cocok, ya dijadikan langganan.

Hari itu tanggal 02 januari 2022. Masih termasuk liburan tahun baru. Kami sekeluarga sengaja ke warung wareg cabang batu. Disebut juga cabang “wisata warung wareg”. Dinamai “wisata” mungkin karena fasilitas yang lebih beragam di arena playground, serta ada wahana kayuh angsa di danau buatannya. Disediakan juga tempat menginap untuk para pengunjung yang datang. 

Play Ground depan wisata warung wareg

Tak seperti biasa, hari itu suasananya rame sekali. Dengan percaya diri saya menempati satu meja kosong di lesehan gazebo. Karena biasanya ya begitu.

 Saya panggil pramusaji untuk memesan makanan. Bukannya dibawakan buku menu, kami malah disuruh pergi. Eh, jangan suudzon bukan diusir kok! Cuma disuruh antri dulu ke mbak operator. Mainan anak-anak yang kadung bukak dasar terpaksa kami rapikan kembali. 

Sampai di lorong dekat operator kami tercengang. Antrinya banyak sekali. Jadi teknis antriannya adalah kami daftar ke operator lalu menunggu disekitarnya sampai dipanggil menggunakan pengeras suara. 

Membawa dua anak kecil untuk antri tidaklah mudah. Walau sudah dihibur dengan memberi makan ikan, mereka tetap ingin bergerak kesana kemari.

Pergerakan adik tertuju pada pohon natal yang ada di dekat operator. Lebih dari sekali saya menemaninya bolak-balik ke dekat pohon itu. Iseng-iseng saya tanya kurang berapa orang lagi antrian kami. Mbak operator menjawab, “setelah ini bu.” 

Tak lama, ada bapak-bapak yang mungkin umurnya sekitar 50an. Tiba-tiba marah dan memaki Mbak operator. Katanya enggak dipanggil-panggil padahal yang datang setelah beliau sudah dipanggil. Mungkin beliau datang duluan tapi daftar belakangan, atau mungkin pas dipanggil tidak memperhatikan. Entah apa sebabnya. Mbak operator tetap memberi pengertian untuk antri sesuai catatan. Tapi si Bapak terus ngotot. 

Jurus marah tidak berhasil. Lalu meluncurlah jurus lainnya. Si Bapak mengambil HP dan menyorot Mbak operator. Berulang kali si Bapak berteriak “akan saya viralkan”.

Bapak itu mulai merekam dan berbicara. Sodara-sodara ini  adalah warung wareg ..  bla … bla … bla … Mbak operator berusaha menghindar dan menyembunyikan wajahnya. Tapi si bapak tak kalah getol menyorot wajahnya sambil berkata pelayanan tidak ramah, tidak profesional, dll.

Siapa sangka jurus ini manjur. Mbak operator dengan wajah merah padam bercampur malu bercampur sedih akhirnya mempersilahkan si “bapak viral” beserta keluarganya mengambil jatah meja kami.

Ya … jatah kami. karena memang itu giliran antrian kami.

Saya yang biasanya tidak suka antrian saya dilangkahi, kali ini diam saja dan tidak merasa tercurangi. Kenapa? Karena tidak tega melihat wajah operator, yang sudah capek bekerja harus menerima makian dan dipermalukan.

Entah siapa yang salah.

 Tapi setidaknya janganlah rasa lapar membuat ettitude kita buyar. 

Jangan pula viral dijadikan senjata melemahkan sesama. 

Jadi merasa ada PR untuk anak-anak yabg hidup di era digital ini. PR untuk menanamkan empati, sabar antri, dan ettitude agar bisa saling menghargai.

O iya, saya gak akan kapok kok ke sini. Gurame Tjentilnya masih rate no satu dilidah kami. Suasana dan fasilitasnya juga enak. Makan jadi sepaket dengan jalan-jalan dan bermain di playground nya. 

So Warung Wareg, tunggu kedatangan kami kembali. Hihihihihi

Uncategorized

Sekolah dengan Hello Math

Pagi hari saat kakak berangkat ke sekolah adalah saat-saat drama digelar oleh adik. Kadang baru lima menit kakak berangkat dari rumah, si adik sudah ngajak jemput kakaknya. Di lain waktu dramanya adalah merengek ingin ikut kakaknya sekolah, “Adek mau etolah, mau etolah.”

Usianya baru dua tahun lima bulan. Kalau pun saya paksakan “titip” di playgroup saya takut dengan resiko dampak menyekolahkan anak terlalu dini. Pernah dengar? Yang sering disampaikan oleh Bunda Elli Risman itu lho. Search aja dengan kata kunci “sekolah usia dini menurut Elly Risman”. Karena saya tidak hendak membahasnya disini, hehehehe.

Maka untuk mengobati keinginannya sekolah, ya saya jadikan dia siswi saya. Hehehe. Dengan ayahnya sebagai kepala sekolah. Beneran saya rutin melaporkan kegiatan bermain nadhira kepada sang kepala sekolah lho.

Saat adik memainkan drama “merajuk ingin sekolah”. Saya siapkan tasnya, amunisi bermain, dan bekal. Sama dengan apa yang saya siapkan untuk kakaknya.

Hari ini kami bersekolah di depan rumah. Cukup angkat meja dan kursi enteng ke sudut halaman. Buka tas, keluarkan bekal dan amunisinya. 

Amunisinya apaan sih?? 

Amunisi saya hari ini adalah lembar aktivitas dari “Hello Math Elhana”. Walaupun judulnya “Math” jangan bayangin si Adek akan belajar angka, perkalian, atau kalkulus ya … belum … masih jauh … wkwkkwkw

Jadi Hello math ini dikemas dalam binder. Mudah dilepas pasang sesuai kebutuhan yang mau dimainkan. Hello math terdiri dari lembaran kertas sebagai “board” atau papan bermain dan potongan-potongan kertas dengan berbagai konten yang diletakkan di zip dan kantong kertas di belakang binder. Cara bermainnya, board yang mana, dan potongan kertas mana yang diperlukan bisa kita lihat di buku petunjuknya.

Buku aktivitas ini dirancang menarik untuk anak-anak usia dini. Kontennya juga ramah anak, tapi tetep full stimulus yang insyaAllah bisa menyambungkan saraf otaknya.

Hari ini adik belajar coding sederhana yang mencocokkan antara aktivitas dan subjectnya. 

Cara bermainnya, mamanya siapkan dulu dengan menempel jenis aktivitas di kotak paling kanan. Kemudian menempelkan subject di kotak paling bawah. Menempelkan? Iya.. Hello math sudah menyiapkan lembaran dan potongan kertas yang dilengkapi dengan perekat. Benar-benar praktis dan tinggal pakai kan? 

Alhamdulillah walau durasi konsentrasinya hanya 5-6 menit dan banyak jeda minta bekal. Adik berhasil menyelesaikannya. Kalaupun tidak selesai tak masalah bund. Yang penting kita sudah quality time sama si adik. Quality time yang tidak di ganggu aktivitas lain. Tidak diganggu benda kecil favorit ibu (baca-HP).. hihihi

Potret dan video yang saya ambil juga sekilas saja. Jika terus-terusan saya pegang HP untuk fotoin dan videoin, si Adek bisa cemburu. Merasa di nomer dua kan.

Uncategorized

Ini tidak sama, Dek!

Menjadi ibu yang memilih “jurusan” domestik membuat saya berfikir. Apa yang bisa saya lakukan untuk memberikan makna lebih untuk profesi saya ini. Dari beberapa yang saya coba ada hal yang membuat saya bahagia dan antusias saat menjalaninya. Yaitu menyiapkan media bermain sekaligus stimulus untuk anak-anak.

 Kali ini saya menyiapkan permainan untuk Adek Nadh. Permainan ini tujuannya tentu saja untuk bermain. Hehhehe. Bermain sama dengan Bersenang-senang. Tapi juga ada stimulus yang ingin saya berikan sesuai milestone atau tugas tumbuh kembangnya. 

Kenapa bermain sambil belajar? Tidak dipisah main ya main, belajar ya belajar??Tujuan saya pribadi agar si anak tidak merasa tertekan ketika belajar. Dia merasa bermain, bersenang-senang tapi aslinya dia sedang belajar. Harapan lebih panjangnya anak menikmati belajar. Menyukai belajar. Mencintai belajar. Kalau sudah cinta berharapnya itu menjadi bekal untuk kehidupannya. Mau menekuni apapun asal ada keinginan untuk mempelajarinya insyaAllah akan lebih baik hasilnya.

Kembali ke permainan yang saya siapkan hari ini.Permainan ini saya namakan “Matching Game”. Stimulus untuk memory dan warna anak usia 2-3 tahun.

Pertama saya cari kardus susu dan kertas bekas kemasan yang tidak terpakai. Kemudian Menggambar 10 buah wortel. Mewarnai daunnya dengan warna seragam, hijau. Sedangkan untuk umbinya diwarnai berbeda-beda dan berpasangan. Jadi ada dua wortel warna jingga, dua wortel warna merah, dan seterusnya. Sampai mempunyai 5 pasang wortel yang berbeda warna.

 Kardus susunya untuk apa? Kardus susu difungsikan sebagai “ladang” untuk menanam wortel. Buat sayatan kecil menggunakan cutter di kardus tersebut. Lebarnya disesuaikan dengan lebar  wortel yang kita buat.Lalu cara bermainnya adalah anak menarik 2 wortel. Jika warnanya sama maka boleh “dipanen”. Jangan lupa sertakan sorakan semangat “Wah Wortelnya sama, ambil dek!”

Lebih seru lagi ketila dibumbui toss ya, hehehhe. Jika warnanya tidak sama harus dimasukkan lagi. Sertai dengan kalimat “yah ini tidak sama, masukin lagi Dek!”

Dengan seperti ini dia mengingat-ingat dimanakah wortel yang warnanya sama. Tanpa disadari anak juga jadi belajar warna, belajar konsep sama dan tidak sama.

Jika sudah capek menyiapkan dan anak tidak tertarik bermain. Tidak mau bermain sesuai aturan yang dijelaskan. jangan baper bund. Simpan, dan keluarkan lagi di momen lain. Bisa jadi anak belum tertarik karena masih fokus dengan mainan atau aktivitas lain. Tetap semangat bebikinan ya…

 Untuk yang mungkin pernah mendengar “anakku aku biarkan dan dia bisa sendiri.” Saya sangat percaya hal itu, karena anak-anak cepat sekali menyerap informasi. Bisa dari TV, dari You tube, ataupun dari keseharian ketika kita menyebutkan “tolong ambilkan gelas kuning”, “mobil merah di depan rumah milik siapa ya?” Dan lain sebagianya. Tapi tidak ada salahnya juga kan jika ada yang memiliki “pilihan” untuk mengusahakan stimulasi anak. Toh caranya juga dengan bermain. Maka anggap saja sedang menemani bermain. Karena anak memang makhluk yang suka bermain bukan? Ketika kita yang membuatkan mainannya, Bukankah itu so sweet? Maka garis bawahi “so sweet” nya saja. Perkara manfaat lain untuk stimulus ini itu tidak usahlah dirisaukan sehingga membuat berkomentar untuk menyalahkan atau minimal menyudutkannya. 

Mari saling menghargai.

Kita tidak sedang bersaing!

Uncategorized

Australiana, kok sepi?

Setelah menyaksikan elephant story kami lanjut naik ke atas untuk sholat dhuhur. pertunjukan hewan berikutnya yang ingin kami saksikan adalah bird story di jam 14.35. Masih ada waktu 2 jam, maka kami putuskan untuk mengunjungi kawasan Australiana. Memang perlu niat dan stamina ya, karena lokasinya diatas dan kita harus menanjak. Di depan tanjakan ada banyak tertulis tarif-tarif menunggang kuda, dll. mungkin ini juga yang membuat tidak benyak pengunjung menyambangi kawasan ini. Padahal masuk Australiana ini gratis, alias free. yang dikenakan biaya itu jika kita ingin memberi makan kanguru, kelinci, dll. biayanya ya untuk membeli makanan. Jika hanya ingin bermain dan bercengkrama dengan hewan-hewan australia mah gratis.

Setelah sampai di kawasan Australiana, kita akan melihat papan petunjuk arah. ke sebelah kaka untuk melihat kanguru dan wallabi, ke sebelah kiri untuk wombat, di tengah kawasan juga ada arena berkuda lengkap dengan beberapa kuda yang berjejer rapi di kandangnya.

sepinya “kandang” kanguru
melihat kanguru dari dekat

DI “kandang” kanguru kita akan berinteraksi dengan sangat dekat dengan kanguru. mereka bebas berkeliaran dan berlompatan kesana kemari. Catatan pentingnya adalah kita dilarang berlari jika kanguru mendekati kita. karena si kanguru malah akan penasaran dan terus mengejar. Untuk memberi makan kanguru kita perlu merogok kocek senilai 35.000-50.000 rupiah. Kalau mau main-main dari deket aja mah gratis.

Zona Wombat yang sepi

Sepanjang menikmati zona australiana ini, pikiran yang terus menggelitik bagi kami adalah kenapa kawasan ini sepi sekali. Saat ada di zona wombat misalnya, hanya ada kami ber empat. Benar-benar serasa kebun binatang pribadi, hehehehehe. Padahal pengunjung Taman Safari hari ini lumayan rame, parkiran juga terlihat penuh. Jika merunut analisa sok tau kami, yang menyebabkan para pengunjung Malas naik ke zona ini karena ada papan tarif untuk fasilitas berbayar di Australiana. Jadi mungkin dikiranya untuk masuk Australiana perlu membayar tambahan tiket khusus. Jika penyebabnya adalah tanjakan yang tinggi, saya rasa kurang kuat ya alasannya. karena untuk menikmati Tiger Cage juga nanjak kok, mirip-mirip lah perjuangan nanjaknya.

Jalan Menuju Zona Australiana

Banyaknya Kanguru yang ada di kawasan ini mengingatkan saya kepada artikel yang saya baca beberapa waktu yang lalu. Bahwa di Negara asalnya, Kanguru ini sudah over populasi. Mungkin kalau di daerah kita kaya kucing kali ya. Banyak sekali kucing berkliaran disekitar rumah. Di Australia yang berkeliaran ya si kanguru ini. hehehhehe. Tapi kita tidak perlu jauh-jauh kesana kalau pengen main sama kanguru, cukup ke prigen jawa timur. Sempatkan naik ke Zona Australiana, worth it untuk dicoba.

Uncategorized

Taman Safari Prigen 2022

Alhamdulillah hari ini kami diberi kesempatan untuk menikmati wisata alam ke taman safari prigen.Sejak semalam saya sibuk menyiapkan bekal. Memang diniati membawa bekal karena pengalaman pertama dulu kami kurang cocok dengan kuliner yang ditawarkan.

Jam 08.00 pagi kami sudah memulai perjalanan, berangkat dari rumah. Sengaja pagi-pagi memang. Lagi-lagi belajar dari pengalaman yang lalu, ketika kami ketinggalan elephant story. Jadi yang kali ini kami tak mau ketinggalan lagi dan rela berangkat pagi sekali. Tau kan perjuangan menyiapkan dua balita mau pergi? Dan ini pagi-pagi sudah harus siap. Effort banget buat kami. 

Menurut hasil pantauan google Elephant story ada di jam 11.45, bird show ada di jam 14.35 barengan sama tiger cage. Hafalnya 2 ini aja, dan memang 2 atraksi aja yang mau ditonton. Kenapa g ke dolphin? Selain sudah pernah, sekarang show dolphin dikenakan biaya 20.000 per orang. Agak perhitungan ya bund, uda bawa bekal g mau beli tiket tambahan pula, wkwkwkwk.

Sampai pintu masuk taman safari kira-kira jam 09.00, dengan membawa tiga ikat wortel yang kami beli di jalan. Sampai di loket kami membeli tiket 150.000 per orang. Hasil riset via google memang tak lagi kami temukan perbedaan harga tiket seperti dahulu. Sampai di loket pun kami tidak ditawari harga tiket yang berjenjang. Langsung ditawari tiket seharga 150.000 per orang termasuk bayi diatas 1 tahunku ini, hehehehhe.

Memasuki gerbang satwa pertama ada Alpaka dan IIama yang telah menunggu. Adek dan kakak antusias untuk segera mengeluarkan wortel mereka. Jumlah Alpaka yang menyambut kami tak begitu banyak. Entah masih di “dalam” atau memang tinggal sejumlah iti populasinya di TS2 prigen. 

Setelah melewati beberapa herbivora, sampailah ke gerbang karnivora. Hewan pertama yang terlihat (dia tidak menyambut, hahahah) adalah si beruang. Kemudian ada Harimau, dan kawanan singa. Berbeda dengan kawasan herbivora yang hewan-hewannya terlihat energik dan semangat. Kawasan pemangsa ini sebagian besar sedang santai rebahan. Jadi mikir kan? Apakah kalau terlalu banyak makan daging akan membuat malas bergerak dan memilih rebahan saja? Wkwkwkwk. Sebenarnya serem juga ya kalau si karnivora ini aktif mencari makan kayak herbivora. Bisa-bisa mobil kita diserang dong ya..

Next mau cerita tentang australiana yang sepi… Walau sedikit menanjak, tapi ini wahana gratis dan bagus. Kenapa sepi ya? Tunggu kisah selanjutnya….