Tiktuk.. Notifikasi HP-ku berbunyi pertanda ada pesan WA yang masuk. Ternyata pesan dari pak kurir yang meminta share loc alamat Bapak. Paket yang aku kirimkan untuk bapak memang sengaja kuberi kontakku, agar bapak tidak perlu repot menjawab. Kuberitahukan kepada pak kurir bahwa aku tidak bisa mengirim share loc, tapi aku bisa mengirim detail alamat dan foto rumah bapak.
Segera kubuka g-maps, dan mencari alamat Bapak. Klik street view, dan seketika foto rumah Bapak terpampang nyata.
Setelah mengirim screenshot kepada pak kurir, kulanjutkan berpetualang dengan panah navigasi street view. Kupilih menelusuri panah ke arah timur. Sarana nostalgia yang sangat efektif. Ingatanku pun menerawang, ada begitu banyak kisah dan cerita di sepanjang jalan itu. Dulu selama 11 tahun, aku melewati jalan ini setiap hari. Sekolahku mulai dari TK, MI, sampai MTS mengharuskanku melewati jalan ini.
Entah kenapa tanganku terhenti di pin yang bertuliskan “pasar gandu.” Pasar yang sampai sekarang memegang rekor paling banyak kukunjungi. Walau mungkin sudah 6 tahun terakhir ini tak pernah kusambangi lagi.

Kuingat sudut-sudutnya dengan baik. Dimana tukang jualan mainan berada, dimana bakul sayur langganan ibu menggelar lapaknya, dimana penjual lempeng gaplek favorit Bulek. Serta dimana lapak penjual dawet yang selalu kami singgahi sebelum pulang.
Ingatan terjauh yang bisa ku jangkau adalah saat aku umur 5 tahun. Saat hidungku sakit dan menunggui ibu belanja. Aku setia menunggu dipintu pasar bersama Bapak. Aku juga ingat letak dan suasana saat menemani ibuk berbelanja kunyit, jahe, kencur, dan temu lawak. Rempah-rempah untuk membuat jamu tradisional dagangan Ibu. Ah.. Bahkan wajah Penjual kunyit pun masih terekam jelas diotakku.
Di pasar ini pula, terjadi sejarah besar dalam hidupku. Waktu itu aku duduk di kelas empat madrasah ibtidaiyah. Seperti biasa aku ikut ibu berbelanja. Aku mengenakan baju coklat berlengan pendek, dan rok yang panjangnya sampai bawah lutut. Jilbab hanya aku kenakan di sekolah saja. Saat keluar bahkan ke pasar aku belum terbiasa memakainya.
Hari itu, dilapak sayur langganan ibu tiba-tiba aku merasa sangat malu. Entah karena bertemu dengan beberapa guru, atau memang saatnya hidayah datang menyapaku. Perasaan malu ini sangat tak biasa. Aku menarik-narik lengan bajuku. Seakan lengan itu bisa kupanjangkan. Aku berusaha bersembunyi di belakang ibu. Menyembunyikan betisku. Aku merasa seperti orang telanjang yang dilihat banyak mata. Aku terus memejamkan mataku. Mengajak ibu segera pulang dan menceritakan perasaanku setiba kami di rumah.
Tak kusangka Ibu malah bahagia mendengar ceritaku. Katanya aku sudah dewasa. Aku sudah mengenal rasa malu. Lalu ibu memberitahuku untuk mengenakan baju panjang dan jilbab agar aku merasa nyaman.
Saat itu lah ku mulai lebih disiplin memakai jilbabku. Walau mungkin belum sempurna karena di halaman rumah aku masih nyaman tak mengenakannya.
Jika sekarang aku renungkan, betapa beruntungnya diriku. Allah memberi hidayah kepadaku dengan rasa malu. Tanpa paksaan dan perintah bapak ibu aku mengenakan hijabku.
Tugasku selanjutnya adalah bagaimana menanamkan rasa malu kepada putriku. Bagaimana agar dia menjaga izzahnya. Karena “Malu” adalah sebagian dari iman. Karena “Malu” adalah hal yang sekarang sudah langka untuk ditemukan. Atas nama eksistensi, dengan dalih menyalurkan hobi, wanita tak lagi malu joget sana-sini. Disaksikan ribuan pasang mata melalui berbagai media sosial. Memang, media sosial memiliki dua sisi. Positif dan negatifnya tergantung si pengguna. Mendulang manfaat dan pahala bisa, mendulang dosa pun lebih mudah caranya.
Dengam perkembangan digital sekarang ini, bahkan aku tidak bisa membayangkan bagaiaman sepuluh atau dua puluh tahun lagi. Saat putra putriku beranjak dewasa nanti. Semoga teknologi tak mengikis rasa malu mereka.
Kutitipkan penjagaan putra-putri kami Ya Allah.. Semoga mereka tetap berada dalam koridor hidayahMu.













