Ini adalah temuan hari ke-7. Kenapa tak kunjung dikumpulkan? Karena saya mencari referensi apakah respon yang saya tunjukkan salah? Bagaimana sebaiknya komunikasi untuk mengatasi situasi seperti itu? Saya baca beberapa buku referensi parenting tapi sampai hari ini saya belum benar-benar menemukan formula yang benar untuk menghadapi kejadian tersebut.
Jadi, di hari ke-7 itu fadhil bermain dengan teman-temannya di jalan depan rumah. Mereka bermain balapan. Ada yang lari dan ada yang bersepeda .Fadhil berlari. Karena saya belum izinkan dia bersepeda di jalan depan rumah yang meruapakan turunan tajam. Saya takut dia belum bisa nge-rem, karena bisa bersepeda juga belum lama. Diantara sekumpulan anak itu Fadhil memang paling muda usianya, beberapa kali main bersama mereka memang “tidak cocok”. Sering berakhir dengan menangis. Pun yang terjadi hari itu. Fadhil balapan dan tidak mau kalah. Dia ngotot dia lah pemenangnya. Temannya tentu tidak terima, karena memang fadhil kalah.
Saat dia menangis saya keluar, memanggil, dan memeluknya. Saya tanya apa yang terjadi. Fadhil bercerita sambil menangis bahwa mereka balapan dan fadhil kalah.
“Fadhil menangis karena fadhil kalah?”Tanyaku.
Dia tidak menjawab. Meneruskan tangisannya. Untung saat itu si adek sedang tidur, jadi saya bisa memeluk fadhil untuk menenangkannya. Fadhil terus saja menangis dan tangisannya menjadi-jadi.
Saya konfirmasi kembali perasaannya,” fadhil sedih ya.. fadhil kecewa karena kalah balapan.”
Dia mengangguk. Tetap menangis.
Kemudian saya ingat reflek tangannya ketika kecewa adalah memukul. Mungkin dia menangis karena merasa bersalah sudah memukul temannya. Kemudian saya tanya,
“fadhil tadi mukul teman?”
Dia menjawab “iya, tapi gak kena”
“ooo.. fadhil merasa bersalah sudah memukul teman?”
Tanyaku berusaha memahami apa yang dia rasakan.
“Tapi g kena ma”
Dia tetap menangis sampai sesengukan.
Kemudian aku juga teringat, dulu temannya pernah memukul fadhil, Kemudian aku bertanya
“fadhil tadi kena pukul teman?”
“iyaaaaaa… jawabnya berteriak sambil menangis”
“dimana kena pukulnya, Sakit?”
“disini ma..” jawabnya sambil menunjuk bahu.
“ wes gak apa-apa, sini mama obatin” ku obati dengan menciumnya.
Akhirnya tangisnya agak mereda, dan sepertinya berubah menjadi kantuk. Sesekali dalam tidur siangnya dia sesengukan, menangis dalam mimpi. Mimpi menangis. Bangun tidur alhamdulillah ada teman lainnya main ke rumah, teman yang “sering cocok”. Jadi benguntidur dia ceria, tak mengingat lagi tangis hebohnya sebelum tidur.
Malamnya aku bercerita kepada ayahnya apa yang terjadi hari ini. Lalu kami pun bermain peran, berkompetisi dengan fadhil. Fadhil memang tak mau kalah. Dia selalu merajuk, dan memohon dia lah yang menang. Saat fadhil menang kami mencontohkan untuk berjiwa besar, memberi selamat kepada pemenang.
Aku kemudian bertanya,
“ayah gimana rasanya kalah?”
kemudian ayahnya menjawab
“gak apa-apa mama, biasa aja. Kadang menang, kadang kalah. Its oke” begitu ayah memainkan perannya.
Kami berharap fadhil siap menang dan siap kalah. Disaat yang bersamaan aku juga ragu, benarkah yang aku lakukan ini? Tidakkah aku membunuh jiwa kompetisinya?
Arrggghhhh.. bagaimana yang benar???
Sebelum tidur, aku mengajaknya bercerita tentang hari ini. Akupun memeberitahunya untuk meminta maaf karena telah memukul temnnya, ya walaupun tidak kena. Tapi kemungkinan fadhil dulu yang memprovokasi karena tidak terima kalah.
Esok harinya dia minta maaf, dan kembali bermain. Kali ini aku mengawasinya dari jauh. Ternyata kronologisnya dalah garis finish yang difahami fadhil lebih jauh dari teman-temannya. Saat teman-temannya sudah berhenti, dia berlari sendiri dan dia klaim bahwa dirinya lah sang pemenang. Lucu bukan???
Kali ini aku gamang menilai diriku sendiri. Salah atau benar pola komunikasiku. Benar atau salah untuk jiwa kompetisinya.