Uncategorized

Family Time

Family time atau waktu yang dihabiskan dengan keluarga secara berkualitas tentu berbeda dengan jumlah waktu bersama keluarga. Waktu yang dimiliki seorang ibu rumah tangga yang membersamai buah hatinya dua puluh empat jam, belum tentu lebih berkualitas dibanding waktu yang disediakan ibu bekerja. Kenapa? Karena bisa saja si ibu rumah tangga terlalu sibuk memasak, mencuci piring, dan puluhan pekerjaan domestik yang memang tidak ada habisnya. Belum lagi aktivitas olahraga jari berupa scrolling medsos yang membuat tidak sadar kalau sudah banyak waktu yang terbuang.

Untuk menghindari hal tersebut. Saya sengaja mengalokasikan waktu untuk benar-benar membersamai anak-anak tanpa disambi apapun serta meminimalkan memegang gawai. Saat waktu membersamai, gawai selalu menggoda digunakan untuk mengabadikan momen-momen lucu si buah hati. Tidak haram dan tidak terlarang memang, tetapi sependek pengalaman saya hal ini juga hatus dibatasi agar tidak mengurangi kualitas dan durasi kita membersamai mereka.

Apakah durasinya harus berjam-jam? Tidak. Kalau untuk saya cukup satu jam. Alasannya karena anak-anak juga butuh mengeksplorasi waktu mereka. Mereka butuh menikmati waktu mereka bebas bermain sendiri. Selain itu juga agar saya tetap bisa mengerjakan hal lain, bisa mengerjakan pekerjaan domestik, serta mempunyai waktu untuk diri saya sendiri.

Selain untuk diri sendiri, secara tidak langsung saya juga “mengaturkan” waktu berkualitas untuk Suami. Terkadang bapack-bapack ini saat libur pun tetap sibuk dengan gawainya, memantau pekerjaan. Berikut ini hal-hal yang dilakukan suami saat membersamai anak-anak tanpa menyambi apapun.

– Bermain Bersama

Bermain adalah dunia paling menyenangkan dan paling relate dengan anak-anak. Sepertinya tidak ada anak yang menolak diajak bermain. Banyak sekali permainan yang bisa dilakukan bersama ayah. Bermain ular tangga, membuat menara dengan rainbow domino, bermai mobil-mobilan, dll.

– Membaca Buku

Tidak hanya di hari libur, membaca buku bersama ayah bisa dilakukan setiap hari. Tak perlu lama, cukup 15 menit saja. InsyaAllah selain menambah kedekatan juga menambah kosa kata dan pengetahuan.

– Mencuci Kendaraan Bersama

Mencuci kendaraan bersama balita memang merepotkan dan memakan waktu lebih lama. Saat hari libur dan tidak diburu waktu, kegiatan mencuci kendaraan bersama akan membuat anak berbinar dan bahagia. Ditambah bonus stimulus sensori dengan bermain busa. Selain bermain juga mengajari mereka mengerjakan beberapa pekerjaan keseharian.

– Berkendara

Perjalanan dengan anggota keluarga adalah hal yang dinantikan anak-anak di hari liburnya. Mereka selalu antusias bertanya kemana kita hari ini. Tak melulu harus pergi ke tempat wisata. Berkendara melihat jalan dan tempat-tempat baru juga merupakan pengalaman yang seru.

Itulah beberapa kegiatan favorit anak-anak dengan ayahnya. Sementara quality time anak-anak dengan mamanya akan dibagikan dikesempatan lain. Serasa ada yang nungguin aja, hehehehe

cerita mama

Merajuk, eh Merajut!

Pertama kali berkenalan dengan merajut saat hamil anak pertama. Setelah badai hiperemesis di Trimester pertama usai, saya mulai bisa “bangun” dan beraktivitas. Saat itu saya sudah mengajukan resign dari sekolah, dan memutuskan untuk ikut suami ke perantauan. Tidak banyak kegiatan yang bisa saya lakukan. Kami tinggal di kos-kosan yang tidak menyediakan dapur untuk penghuninya. Mengisi waktu dengan belajar memasak, tentu mustahil dilakukan. Maka saya mulai mencari kegiatan yang mungkin dilakukan dan menghasilkan sesuatu.

Saya buka-buka situs crafting dan melihat pernik-pernik bayi hasil rajutan. Topi bayi yang lucu, sepatu bayi yang imut, baju rajut yang terlihat hangat. Saya tertarik. Saya cari beberapa tutorial dan merasa bisa mempelajarinya.

Setelah menyampaikan niat saya kepada suami, kami berbelanja benang dan jarum rajut. Satu jarum ukuran 5 dan 6, serta 2 gulung benang rajut berwarna abu-abu dan pelangi. Hasil rajut pertama diniatkan membuat sepatu bayi, mengikuti tutorial berbahasa inggris. Tapi hasilnya seperti mainan perahu. Tak patah arang  saya membuat sepatu kedua, ketiga, keempat, sampai benar-benar berbentuk sepatu. Dukungan suami juga sangat penting, agar sang istri yang sedang hamil merasa bahagia dan produktif.

Karya pertama

Saat kami berkunjung ke surabaya, saya sempatkan mencari benang rajut lagi. Di Royal Plaza, Mall favorit saya saat menjadi mahasiswa. Disini saya juga membeli jarum  ukuran yang lebih kecil, serta benang yang lebih halus dan cocok dibuat menjadi baju.

Setelah itu saya mengisi waktu menunggu kelahiran dengan merajut baju dan topi untuk anak kami.

Setelah Fadhil lahir, waktu saya sepenuhnya tersita. Benang-benang ini terbengkalai. Padahal sempat ada niat merajut lagi ketika melihat kakak saya juga merajut dan menghasilkan tas-tas yang bagus dan elegan. Walau sudah sampat belajar pola kepada kakak, tapi saat pindah ke malang tak juga saya temukan waktu untuk merajut. 

Tiga tahun kemudian, saat hamil anak ke dua saya merajut bandana. Saya lakukan saat jenis kelamin si adek sudab diketahui. Saya hanya sempat membuat satu bandana karena keadaan lemah di awal kehamilan serta kontraksi palsu dan flek darah yang sesekali datang saat hamil tua. 

Bandana, rajutan pertama untuk Nadhira

Dua tahun berselang, benang dan jarum itu masih tersimpan rapi dalam pouch khusus. Sesekali memang saya pakai benangnya untuk media bermain bersama Fadhil dan Nadhira. Saat melihat mulai banyak konektor masker rajutan dipakai banyak orang, niat itu muncul lagi. Setidaknya saya tidak perlu membeli konektor yang bentar-bentar ilang, bentar-bentar lupa naruh. Hehehhe. 

Kebetulan di pouch juga ada 2 kancing besar yang bisa saya gunakan. Akhirmya saya membuat konektor rajut pertama saya. Kemudian terpikir untuk membuat beberapa untuk para pelangan online shop saya. Yups, akhirnya saya belanja lagi. Membuat konektor dan bros dari benang rajut. Saat butuh tempat tissue saya juga membuatnya. Sekarang mencari tutorial merajut tak sesulit dahulu. Banyak sekali konten tutorial mejarut bahasa indonesia.

Terakhir hari ini, ada niat membuat tas kecil untuk adek karena senang sekali saat saya buatkan tas ala kadarnya dari kardus bekas. Dibawanya bermain kemana-mana. Jadi muncul keinginan untuk membuatkannga tas yang lebih layak. 

Demikian perjalanan merajut saya yang sederhana dan sok didramatisasi…. hehhehe

Uncategorized

Si Demam, Musuh atau Teman?

Hei demam, kenapa akhir-akhir ini rajin sekali menyambangi?

Mana datangnya tak sendiri.

Hampir selalu mengajak batuk dan pilek menyertai.

Untuk anak pertama kami, kalian memang tidak terasa asing lagi.

Sedari bayi dia sudah pernah kalian jangkiti.

Tapi untuk anak ke dua kami, sungguh PR membuatnya mengerti.

Kenapa hidungnya mampet susah bernafas, dan tenggorokannya tersiksa karena batuk yang bertubi-tubi. 

Suatu siang, saat berita penyebaran virus omicron semakin meluas. Fadhil pulang sekolah dengan lemas, badannya panas dan sesekali dia terbatuk. Demam kali ini sepertinya membuatnya benar-benar tidak nyaman. Fadhil langsung tidur setelah berganti baju. Walau belum jelas ini omicron atau bukan, kami segera memakai masker. Begitupun dengan Adiknya, Nadhira. Kami memakaikannya masker. Beruntung anak-anak sudah terbiasa memakai masker. Fadhil pun tidak keberatan jika kami bermasker saat mendekatinya. tapi kebiasaan anak-anak minum dari botol yang sama sungguh sulit sekali dikendalikan. Meskipun sudah menyiapkan dua botol, tetap saja adek meminum dari botol kakaknya, dan sebaliknya. Belum lagi Saat kami lengah, Adek mendekati kakaknya tanpa memakai masker.  Adik mendekat untuk mengelus-elus kakanya yang sakit. Akhirnya kami kalah dan membiarkannya karena menyaksikan manisnya perlakuan itu. Beberapa saat kemudian kami menuai akibat dari pembiaran kami ini.

Virus ini cepat sekali menular. Hanya perlu waktu tiga jam, adik pun menyusul lemas, demam, dan batuk. Karena adek belum berpengalaman, susah sekali membuatnya istirahat dengan tenang. Dia bingung bagaimana cara bernafas. Ditambah suhunya yang tinggi semakin membuatnya tidak bisa terlelap tidur. Padahal Menurut saya dan suami, istirahat, banyak minum air putih, dan mengonsumsi makanan sehat adalah peningkat imunitas yang bisa membuat tubuh melawan virus penyebab batuk dan pilek. Seperti yang dikatakan dokter apin dalam akun IG nya @dokterapin bahwa commond cold atau influenza adalah infeksi virus yang akan sembuh dengan sendirinya, daya tahan tubuhlah yang akan mengalahkan virus penyebab salesma. Untuk kajian lengkapnya bisa langsung ke akun IG dokter apin, ya.

Malam itu kami memang diharuskan untuk mau berteman dengan demam. Dikarenakan adek yang suhu tubuhnya mencapai 39℃ berkali-kali muntah setelah minum paracetamol, hingga ia mengeluh lapar. Setelah makan beberapa sendok nasi akhirnya adek berangsur tenang dan memejamkan mata. Kami putuskan tak memberinya paracetamol karena merasa kasihan jika perutnya harus kosong lagi. Malam itu kami lalui dengan kecemasan. Memutuskan tanpa paracetamol padahal suhu mencapai 40℃. Kekhawatiran terbesar kami adalah resiko kejang jika suhu tubuh terlalu tinggi. Kami terjaga sepanjang malam untuk memastikan tidak ada tanda-tanda kejang. Untuk sedikit membuatnya nyaman dan menurunkan suhunya, saya putuskan memakai cara skin to skin. Entah hal ini tepat atau tidak, kami hanya ingin menguatkan imunitasnya dengan istirahat, makan, dan minum. Alhamdulillah di pagi hari suhunya berangsur turun walaupun belum stabil. Pada hari kedua sebisa mungkin kami berikan paracetamol, tetapi berjeda lama dengan waktu makan si adik.

Seperti selentingan berita tentang omicron, virus ini cepat menyebar tapi tidak terlalu lama masa inveksius dan inkubasinya. Pada hari ketiga kakak sudah sehat, disusul dengan adek yang sudah mulai pulih. Hal yang terasa sangat berbeda dengan flu batuk biasa adalah batuk dan pilek di musim omicron ini  cepat sekali hilangnya. Padahal biasanya durasi batuk kakak minimal tujuh hari untuk benar-benar sembuh dan menghilang grok-groknya. Kali ini hanya perlu tiga hari saja batuknya sudah reda dan menghilang.

Demikianlah pengalaman kami yang dipaksa untuk bersahabat dengan demam. Jika biasanya pada suhu 37℃ kami sudah bingung memberi paracetamol, malam itu kami dipaksa bertahan tanpa paracetamol sampai suhu 40℃. Tentu bukan hal yang bisa ditiru, karena suhu tinggi juga beresiko kejang. Tidak diobati bukan berarti dibiarkan. Tetap menajamkan indra, insting, dan berbekal pengetahuan kedaruratan. Jaman sekarang banyak sekali dokter yang berbagi ilmu dengan bahasa yang mudah dipahami.

Uncategorized

Aku dan Gawaiku, yang Mulai Tidak Sehat

Gawai atau yang lebih sering disebut gadget sepertinya sudah mulai merangsek dari kebutuhan sekunder tersier menjadi kebutuhan primer. 

Untuk saya HP adalah perangkat gadget yang paling membuat candu. Mudah dibawa, dan terasa semua hal ada di genggaman. Bisa belanja, bisa jualan, dan tentunya melakukan transaksi keuangan dengan gerakan jempol saja. 

Segala informasi dan hiburan tersedia. Mulai dari yang syarat manfaat dan berfaedah. Sampai yang bersifat sia-sia, bahkan bisa menjadi jalannya dosa. Yup, ponsel pintar ini tergantung penggunanya. Bisa saja ponselnya pintar orangnya juga jadi tambah pintar setelah menggunakannya. Tapi tak jarang juga ponsel pintar ini malah menyesatkan penggunanya sehingga menjadi kurang pintar. Saya termasuk yang mana? Entahlah, pengennya sih ngeklaim kalau termasuk yang tambah pintar. Wkwkkwkw….

Saya belum pernah menghitung secara pasti berapa waktu yang saya habiskan untuk menggunakan gadget ini dalam sehari. Kalau kamu, pernah ngitung gak?

Alasan saat saya “kudu” banget membuka gadget adalah:

  1. Cek wa, adakah pesan penting untuk saya.
  2. Kegiatan jual beli
  3.  Mencari ide kegiatan anak
  4. Mencari resep masakan
  5. Riset untuk membuat konten di blog

Akan tetapi tak jarang, atau katakanlah sangat sering berakhir dengan:

  1. Scroll WAS teman dan komen sana sini dengan niat silaturahmi
  2. Membuka IG, 10% cari ide kegiatan 90% scroll feed ig dan tengok selebgram dengan dalih konten yang saya lihat juga mengandung edukasi dan isnpirasi
  3. Mencari tutorial memasak 10 menit, 60 menit melihat konten lain di you tube dengan dalih self reward, hiburan nonton stand up
  4. Setelah berhasil mendapatkan jurnal ilmiah, tidak langsung dibaca. Simpen aja sampai jamuran. Trus cuss buka aplikasi drama korea. Kalau yang ini biarkanlah tak berdalih. Wkwkkwkw.

Dari sini saya belum menyadari bahwa hubungan saya dengan gadget sudah tidak sehat. Sampai suatu hari saat wifi rumah mengalami trouble. Saya bingung sekali. Bentar-bentar cek HP. Scroll ini itu padahal tak ada jaringan internetnya. 

Setelah menyadari hal itu saya segera mencari tau ciri-ciri hubungan dengan gadget yang tidak sehat. Salah satunya adalah kebiasaan makan sambil nonton you tube. Masak bahkan cuci piring sambil dengerin podcast. Sebenarnya sah-sah saja jika yang didengarkan adalah konten edukasi. Masalahnya tak jarang juga yang saya dengarkan adalah vlog atau podcast tentang masalah hidup orang lain. Bukannya sama sekali tidak ada manfaatnya. Tentu ada jika dicari sedemikia  rupa. Tapi masalahnya tidak ada urgensinya untuk kehidupanku.

Setelah mengakui ada yang tidak beres, tidak sehat, dan tidak normal. Langkah berikitnya adalah mencari solusi. Membuat jam online, atau mensyaratkan harus selesai beberapa tugas rumah sebelum membuka HP. Masak sebelum cari resep dan menulisnya untuk masakan esok. Quality time bersama anak-anak minimal 1 jam sebelum mencari ide kegiatan untuk esok hari. Menyelesaikan cuci piring, beres-beres rumah, fan pekerjaan domestik lain sebelum nonton you tube. Membaca beberapa artikel riset untuk konten blog, sebelum membuka HP untuk riset bahan baru.

Memulai hal baru dan mendisiplinkan diri memang berat, tapi lebih berat lagi komitmen untuk konsistennya. 

Semoga dengan menuliskan ini, saya selalu ingat pernah ada diposisi ini, dengan semangat memperbaiki diri.

Uncategorized

Empat Permainan Plastisin, spontan tidak perlu persiapan!

Saya mungkin termasuk golongan ibu yang lebih memilih plastisin atau pasir ajaib untuk media stimulasi sensorik. Dibanding media lain seperti slime, pasir ajaib dan plastisin lebih mudah dibentuk. Tetapi masih bisa digunakan untuk stimulasi indra peraba dengan tekstur uniknya.

Ketika mengajak anak-anak bermain dengan plastisin yang ada di benak saya hanya stimulasi sensori peraba, dan penglihatan dengan aneka warnanya. Namun, tujuan utama saya saat bermain ini adalah menghadirkan waktu berkualitas dengan si adik saat kakaknya sekolah. Bermain bersama, itu saja intinya. Jika ada manfaat lain, anggap saja itu sebagai bonusnya.

Beberapa waktu lalu saya mengajak adek Nadh bermain dengan plastisin. Tanpa banyak persiapan, hanya menggunakan apa yang dilihat dan apa yang terlintas di benak saya. Mungkin permainan kami ini bisa dijadikan alternatif bagi bunda dan buah hatinya untuk mengisi waktu di rumah. Berikut empat permainan kami yang melibatkan plastisin.

  1. Masak-masakan

Saat adek mengambil box masak-masakan, saya berinisiatf mengambil plastisin untuk dijadikan bahan yang diiris-iris. Selain itu plastisin juga bisa dibentuk menjadi replika makanan. Pizza misalnya, doughnya dari plastisin warna coklat kemudian pepperoni dari plastisin warna merah, jamur dari warna putih, paprika dari warna kuning, dsb. ini. Bisa juga membuat telur mata sapi dari plastisin putih dan kuning.

Banyak sekali bentuk makanan yang bisa kita eksplor dari plastisin. Silahkan berkreasi sesuka hati, Bunda!

2. Membuat bola kecil warna-warni

Membentuk plastisin menjadi bentuk bundar tentu terasa sangat biasa. Si Adek malah enggan melakukannya. Enggan mencuil plastisin kemudian memutar-mutar dengan kedua telapak tangan supaya berbentuk bola. Maka saya ambil kukusan magic com sebagai tempat meletakkan bola hasil karyanya. Ternyata yang semula enggan berubah jadi ketagihan, hehehehe.. 

Setelah semua lubang kukusan terisi, saya lanjutkan dengan mengambil bola-bola ini menggunakan capitan. Tujuannya biar mainnya tambah lama saja sih, hehhehe. Semisal dengan kegiatan ini ternyata bisa melatih motorik halus atau kasarnya, ya Alhamdulillah kan bund?

Mohon maaf untuk part capit mencapit ini tidak terfoto, semoga dijelaskan dengan kalimat-kalimat ini sudah bisa mewakili ya.

3. Menempelkan buah ke pohon

Anda hanya perlu menggambar pohon, dengan dahan yang tidak berdaun dan berbuah. 

Gunakan plastisin sebagai daun atau buah. Minta anak menempatkan di dahan mana daun itu akan diletakkan. Kemudian minta anak untuk menekannya supaya daun menempel dan tidak jatuh.

4. Kenalan geometri

Kalau yang ini sedikit perlu persiapan ya Bunda ….

Untuk membentuk geometri diperlukan stik dan plastisin. Kita bisa menggunakan sedotan, stik eskrim, atau bahkan lidi yang telah dipotong dan dipastikan aman untuk dipegang.

Cara bermainnya dengan membentuk sisi-sisi dari stik. Kemudian, digabungkan dengan plastisin di setiap sudutnya.

Karena judulnya perkenalan, maka jelaskan bentuk apa yang sedang kita buat. Setelah selesai sesi perkenalan geometri, bebaskan anak membuat aneka bentuk sesuai keinginannya. 

Cukup sekian penjelasan dari permainan receh dan seadanya dari markas kami. Semoga bisa diambil manfaatnya, jika ada… hehehehhe. Selamat bermain dengan ananda. Sampaikan salam hangat saya untuk mereka. 

Markas kakak adek

12 Maret 2022

Uncategorized

Mengasah logika dengan Unplugged Coding

“Agama tanpa logika Lumpuh”

“Logika tanpa agama Buta”

Dua kalimat yang tertulis di salah satu poster besar saat penyambutan santri baru di madrasah saya dulu. Dua diantara puluhan kalimat lain yang saya baca saat itu. Entah mengapa dua kalimat ini begitu menempel di ingatan saya.

Mungkin karena saya setuju dengan kalimat tersebut. 

Kalimat yang semakin kesini semakin terasa amat relevan. Beberapa waktu yang lalu misalnya, banyak sekali fenomena prinsip yang sepertinya masuk akal dan sesuai logika. Akan tetapi jika ditelaah lagi akan sangat bertolak belakang dengan prinsip kehidupan. Sebut saya fenomena child free, berbagai alasan dikemukakan oleh orang yang memiliki prinsip ini. Terdengar baik dan sangat masuk akal. Tapi…

Bagaimana jika dulu orang tuanya memiliki prinsip child free juga, mungkinkah dia ada di dunia saat ini? Tidakkan dia bersyukur dengan kehidupan dan keberadaannya kini?

Begitupun dengan kalimat satunya, agama tanpa logika memang akan lumpuh. Dengan banyaknya khilafiah, banyak perbedaan ulama dalam menghukumi sesuat. Maka dalil naqli yang berupa akal dan logika bisa dijadikan filter. Hukum mana yang sejalan dengan nilai kehidupan dan keadaan lingkungan kita. Dengan catatan, hukum yang kita pilih juga merupakan hasil dari ijma’ para ulama.

Sebagai ibu, salah satu peran penting saya adalah menstimulasi anak-anak dengan ilmu agama dan mengasah logika mereka. Walaupun masih jauh dari sempurna, terselip harapan semoga proses saya membersamai mereka bisa dijadikan bekal hidupnya.

Untuk memudahkan saya mengasah logika mereka, saya menggunakan beberapa media. Salah satunya adalah buku. Seperti yang disebutkan di judul, buku Unplugged Coding ini saya rasa bisa digunakan untuk mengasah logika anak-anak. 

Awalnya otak saya selalu mengidentikkan kata coding dengan kode biner 0-1 yang digunakan untuk pemrograman komputer. Sungguh pusing sekali jika harus mempelajari ini, karena semasa saya SMA dulu bab coding di pelajaran TIK benar-benar terasa sulit. Ternyata buku coding untuk anak-anak ini jauh dari kesan itu. Bahkan terkesan lucu dengan gambar-gambar yang ada di dalamnya.

Dalam buku unplugged coding, level kesulitan dibagi menjadi tiga. Level mudah dimulai untuk usia 5 tahun. Semacam “pemanasan” untuk anak-anak usia ini. Coding yang digunakan cukup mudah tapi tetap terasa pengasahan logikanya.

Ukuran buku yang besar, memudahkan anak-anak untuk mengerjakan soal-soalnya. Diselingi dengan lembar mewarnai menjadikan anak tidak bosan, mungkin bisa sekaligus menyeimbangkan otak seninya. Kenapa mungkin? Ya karena ini hasil cocoklogi saya semata, hehehhe.

Kadang merasa sayang jika buku ini hanya bisa dikerjakan sekali saja. Karena bukunya memang bukan buku tulis hapus yang bisa dipakai berkali-kali. Untuk mengakalinya, saya pakai lakban transparan supaya bisa dikerjakan dan dihapus. Maklum ya ibu-ibu hemat, hehehe. Tentu tidak semua aktivitas bisa dilakban seperti ini. Lembar mewarnai misalnya, tidak puas rasanya jika mewarnai berakhir dengan dihapus lagi. 

Yang saya suka adalah konten aktivitas yang diselingi pengetahuan. Karena buku ini pula saya lebih sering menjelaskan tentang arah. Kanan, kiri, atas, dan  bawah.  Banyak aktivitas coding di buku ini yang menggunakan panah sebagai penunjuk arah. Menurut saya, belajar arah ini akan semakin memantapkan kemampuan pra membaca anak. Namun, hal yang utama dari semua itu adalah anak belajar, mengasah logika tetapi merasa enjoy dan tidak tertekan. Belajar dengan suka rela. Merasa belajar hanya bermain saja. 

Uncategorized

Pasar Gandu

Tiktuk.. Notifikasi HP-ku berbunyi pertanda ada pesan WA yang masuk. Ternyata pesan dari pak kurir yang meminta share loc alamat Bapak. Paket yang aku kirimkan untuk bapak memang sengaja kuberi kontakku, agar bapak tidak perlu repot menjawab. Kuberitahukan kepada pak kurir bahwa aku tidak bisa mengirim share loc, tapi aku bisa mengirim detail alamat dan foto rumah bapak.

Segera kubuka g-maps, dan mencari alamat Bapak. Klik street view, dan seketika foto rumah Bapak terpampang nyata.

Setelah mengirim screenshot kepada pak kurir, kulanjutkan berpetualang dengan panah navigasi street view. Kupilih menelusuri panah ke arah timur. Sarana nostalgia yang sangat efektif. Ingatanku pun menerawang, ada begitu banyak kisah dan cerita di sepanjang jalan itu. Dulu selama 11 tahun, aku melewati jalan ini setiap hari. Sekolahku mulai dari TK, MI, sampai MTS mengharuskanku melewati jalan ini.

Entah kenapa tanganku terhenti di pin yang bertuliskan “pasar gandu.” Pasar yang sampai sekarang memegang rekor paling banyak kukunjungi. Walau mungkin sudah 6 tahun terakhir ini tak pernah kusambangi lagi.

Kuingat sudut-sudutnya dengan baik. Dimana tukang jualan mainan berada, dimana bakul sayur langganan ibu menggelar lapaknya, dimana penjual lempeng gaplek favorit Bulek. Serta dimana lapak penjual dawet yang selalu kami singgahi sebelum pulang.

Ingatan terjauh yang bisa ku jangkau adalah saat aku umur 5 tahun. Saat hidungku sakit dan menunggui ibu belanja. Aku setia menunggu dipintu pasar bersama Bapak. Aku juga ingat letak dan suasana saat menemani ibuk berbelanja kunyit, jahe, kencur, dan temu lawak. Rempah-rempah untuk membuat jamu tradisional dagangan Ibu. Ah.. Bahkan wajah Penjual kunyit pun masih terekam jelas diotakku.

Di pasar ini pula, terjadi sejarah besar dalam hidupku. Waktu itu aku duduk di kelas empat madrasah ibtidaiyah. Seperti biasa aku ikut ibu berbelanja. Aku mengenakan baju coklat berlengan pendek, dan rok yang panjangnya sampai bawah lutut. Jilbab hanya aku kenakan di sekolah saja. Saat keluar bahkan ke pasar aku belum terbiasa memakainya.

Hari itu, dilapak sayur langganan ibu tiba-tiba aku merasa sangat malu. Entah karena bertemu dengan beberapa guru, atau memang saatnya hidayah datang menyapaku. Perasaan malu ini sangat tak biasa. Aku menarik-narik lengan bajuku. Seakan lengan itu bisa kupanjangkan. Aku berusaha bersembunyi di belakang ibu. Menyembunyikan betisku. Aku merasa seperti orang telanjang yang dilihat banyak mata. Aku terus memejamkan mataku. Mengajak ibu segera pulang dan menceritakan perasaanku setiba kami di rumah.

Tak kusangka Ibu malah bahagia mendengar ceritaku. Katanya aku sudah dewasa. Aku sudah mengenal rasa malu. Lalu ibu memberitahuku untuk mengenakan baju panjang dan jilbab agar aku merasa nyaman.

Saat itu lah ku mulai lebih disiplin memakai jilbabku. Walau mungkin belum sempurna karena di halaman rumah aku masih nyaman tak mengenakannya.

Jika sekarang aku renungkan, betapa beruntungnya diriku. Allah memberi hidayah kepadaku dengan rasa malu. Tanpa paksaan dan perintah bapak ibu aku mengenakan hijabku.

Tugasku selanjutnya adalah bagaimana menanamkan rasa malu kepada putriku. Bagaimana agar dia menjaga izzahnya. Karena “Malu” adalah sebagian dari iman. Karena “Malu” adalah hal yang sekarang sudah langka untuk ditemukan. Atas nama eksistensi, dengan dalih menyalurkan hobi, wanita tak lagi malu joget sana-sini. Disaksikan ribuan pasang mata melalui berbagai media sosial. Memang, media sosial memiliki dua sisi. Positif dan negatifnya tergantung si pengguna. Mendulang manfaat dan pahala bisa, mendulang dosa pun lebih mudah caranya.

Dengam perkembangan digital sekarang ini, bahkan aku tidak bisa membayangkan bagaiaman sepuluh atau dua puluh tahun lagi. Saat putra putriku beranjak dewasa nanti. Semoga teknologi tak mengikis rasa malu mereka.

Kutitipkan penjagaan putra-putri kami Ya Allah.. Semoga mereka tetap berada dalam koridor hidayahMu.

Uncategorized

Netizen Julid

Netizen si maha benar. Pernah mendengar kalimat tersebut? Nyatanya menjadi “masyarakat dunia maya” membuat orang sangat berani berpendapat. Entah benar, entah salah, siapa peduli yang penting unek-unek tersampaikan. Tak berfikir apakah komentar yang diketik akan menyinggung, menyakiti, bahkan bisa sampai mengakibatkan penyakit mental.

Membicarakan tentang netizen julid memang  menggemaskan. Namun, pernah kah terpikir mungkin kita adalah bagian dari netizen itu? Hehehhe.

Kalau saya, rasanya pernah. Walaupun maksud saya tidak julid, bisa saja dianggap julid oleh orang yang saya komentari. Biasanya saya tidak bisa menahan diri ketika melihat sesuatu yang bertentangan dengan kelilmuan dan pendapat para ahli.

Misalnya, saat melihat postingan MPASI yang dibuat seorang teman. Dia membuat MPASI sama seperti Mpasi yang saya buat dulu.  Masalahnya sekarang saya tau jika cara itu kurang tepat, bahkan bisa menyebabkan mal nutrisi. Jempol ini ingin sekali beraksi. Toh maksudnya baik, supaya bayinya tak kekurangan gizi. Eeittsss … tahan dulu. Bukankah niat baik juga seharusnya dilakukan dengan cara yang baik.

Saya lantas berpikir lagi. Apa dampak jika saya mengemukakan komentar yang kontra di postingan itu. Lebih sopan kalau saya kirim direct message atau kirim chat whatsapp yang sifatnya pribadi. Mengirim pesan pribadi pun harus ditimbang-timbang. Jangan sampai niat kita memberitahu karena sayang berakhir dengan bersitegang. Baiklah, sebaiknya diam dan lewatkan saja. Skip. Hehehhe

Pada lain waktu, saya melihat postingan seorang ibu yang menggendong bayinya. Beliau menggendong bayi dengan posisi yang kita tau kurang aman. Mmmm.. rasanya si jempol sudah tidak bisa ditahan. Tapi tolong rem tetep dipakemkan. Jangan sampai si jempol merasa maha benar, dengan secuil ilmu yang dibaca dan didengar.

Melihat berbagai postingan yang kita tahu (atau sok tahu)  kurang tepat, tak jarang membuat kita ingin sekali berkomentar. Apalagi jika pendapat kita itu dilatarbelakangi ulasan dan pendapat seorang ahli. Maka keinginan berkomentar semakin menjadi-jadi. Seringnya niat  kita mengingatkan karena sayang. Namun, terkadang yang diperhatikan tidak butuh sayang yang seperti itu. Jadi ya jangan memaksakan diri. Karena sayang tak seharusnya menyerang bukan?

Dikembalikan saja pada diri sendiri. Apakah kita ahli nutrisi? Apakah kita ahli ortopedi? Kalau bukan kok yakin sekali mau membenarkan. Ya walaupun niatnya karena sayang. Tapi bukankah Ilmu itu sifatnya tidak statis? Ia berkembang seiring penemuan terbaru, yang saya artikan tidak ada kebenaran mutlak seratus persen. Untuk itulah kini aku berusaha mengendalikan jempol sok benarku.

 Semua adalah ibu terbaik untuk anaknya. Kalau tidak ditanya  tidak usahlah kita repot mancing mania.. eh, mancing perkara.

 

Malang, 25 Februari 2022

Salam hangat dari netizen julid yang ingin bertaubat.

 

Uncategorized

Jawa Tulen yang Kurang Njawani



Bahasa yang saya dengar dan saya ucapkan semenjak kecil adalah bahasa Jawa. Bahasa keseharian di rumah adalah bahasa Jawa. Sayangnya keluarga kami terbiasa memakai Jawa ngoko alias Jawa kasar. Saya kurang bisa memakai kromo alus dan kromo inggil. Kadang malah susah membedakan mana kromo alus dan kromo inggil.

Sebenarnya bapak adalah guru SD, guru yang memegang semua mata pelajaran SD. Bahasa Jawa salah satunya. Beliau mahir nembang, dan menulis hanacaraka. Tapi saya selalu menghindar jika diajak belajar bahasa Jawa. Maka muncullah kalimat bapak untuk saya, “Jowo seng gak njawani.” Begitulah… pelajaran bahasa Jawa sampai SMP hanya sepintas lalu saja untuk saya. Bahkan huruf hanacaraka yang bisa saya ingat sekarang hanya aksara yang dibaca ra, karena bentuknya mirip huruf n.

Cerita selanjutnya tentang bahasa Jawa dan saya terjadi saat saya merantau. Pertama merantau jauh dari rumah adalah saat kuliah. Saya kuliah di universitas negeri Surabaya. Bahasa yang dipakai sama-sama bahasa Jawa. Tapi ternyata bahasa Jawa Ponorogo dengan bahasa Jawa  Surabaya sangat berbeda. Saya merasa di Ponorogo bahasa saya ngoko kasar, setelah sampai Surabaya perasaan ini berubah. Sekasar-kasarnya ngoko Ponorogo terdengar halus jika dipakai di Surabaya.

Ada beberapa kata yang mirip pelafalan, tapi berbeda jauh maknanya. “Mari”, di Ponorogo kata mari digunakan untuk menyatakan sembuh dari penyakit. Maka saat teman kuliah saya bertanya, “kon wes mari ta?” saya menjawab “loh aku gak loro”. Ya pantas saja jika ditertawakan. Karena mari di Surabaya artinya selesai. Selesai melakukan apa pun disebut mari. Satu lagi kata yang masih membekas di ingatan saya adalah “bujuk”. Sepengetahuan saya bujuk artinya merayu. Ternyata di Surabaya bujuk adalah bohong. Jauh sekali bukan? Maka awal perantauan saya lalui dengan banyak tertawa karena perbedaan bahasa.  Satu hal yang menjadi catatan saya adalah, walau sudah beberapa tahun tinggal di Surabaya sebaiknya jangan menggunakan kata atau frasa khas suroboyoan di kampung halaman. Karena akan menimbulkan banyak kesalahpahaman.

Memang bahasa Jawa memiliki banyak versi. Jangankan Ponorogo Surabaya yang berjarak ratusan kilo meter. Daerah asal saya dan suami yang sama-sama Ponorogo pun memiliki perbedaan kosa kata. Contohnya, saat awal menikah saya tidak paham dengan beberapa kata. Yang paling teringat adalah kata “bok”. Ditempat saya tidak ada penggunaan kata ini. Tapi di daerah suami “bok” ini sangat populer digunakan sehari-hari. Bok disini diartikan tidak ada, tidak punya. Sedangkan di daerah asal saya tidak punya memakai frasa “ora  nduwe”.

Sekarang saya tinggal di Malang dan jarang menemui “language shock” karena jarang bergaul dengan warga asli. Di lingkungan perumahan mayoritas orang menggunakan bahasa Indonesia untuk komunikasi sehari-hari.

Demikian cerita yang tak seberapa dari saya yang mulai berpikir bagaimana mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anak. Sedikit menyesal ya, kenapa dulu tidak belajar kromo alus dan kromo inggil yang sopan. Saya terlalu egois berpikir kalau saya  tidak terlalu memerlukannya. Tapi ternyata kromo ini penting untuk mengajarkan kesopanan kepada anak-anak saya.

Uncategorized

Screen time bentuk egoisku???

Screen time adalah babysitter andalanku. Ia memang sangat membantu saat aku ingin memiliki waktu yang agak longgar. Waktu longgar untuk sekedar meluruskan punggung, atau waktu longgar untuk memasak dan berkutat di dunia domestikan lainnya. Jujur tanpa screen time memasak sop saja bisa 1 jam lebih. Kenapa? karena dipanggil anak-anak untuk ini itu. Komplen ini itu, minta ini itu, dan “ini itu ini itu” yang lain.

Tapi tak  aku pungkiri banyak sekali sisi yang aku benci dari screentime ini. Salah satunya adalah berkurangnya kreativitas anakku. Mereka duduk diam terpaku pada layar itu. Eh bukankah memang itu tujuannya? Agar mereka anteng! Tujuan tercapai tapi aku malah benci. Gak jelas banget sih aku.. 

Hal lain yang aku benci adalah fokus anak. Mereka cenderung tidak bisa mendengarkan apa yang saya bicarakan. Cuek, Tidak tanggap apa yang terjadi disekitarnya. 

Benci ini lah yang membuat saya meniadakan screen time. Itu terjadi dulu sekali saat kak F berumur 3 tahun. Yang terjadi? Saya yang tidak waras. Mungkin ibu lain bisa memiliki kondisi ideal. Tapi sangat sulit untuk saya saat dunia mereka hanya terpusat kepada saya. Dampak terburuknya adalah emosi saya yang tidak terkendali. Akhirnya mereka juga yang terkena imbasnya. Saya gampang marah, gampang ngambek. 

Akhirnya diputuskan untuk menjadwalkan screen time. Boleh, tapi tidak berlebihan. Selain itu kami juga memakai tv saja untuk screen time mereka. Alasannya jaraknya bisa lebih jauh dari mata, dan tidak bisa dibawa kemana-mana. Pun lebih mudah diawasi, anak tidak bisa mengakses channel-channel aneh dengan sembunyi-sembunyi. 

Sampai hari ini Alhamdulillah kakak menurut dengan jatah “screentime”. Kakak akan segera matikan tv nya ketika saya bilang waktunya telah usai. PR terbaru adalah membuat arek mengerti akan regulasi screen time di rumah kami. 

Tidak sesuai teori memang, tapi itulah yang paling nyaman untuk semua anggota keluarga. Akhirnya ilmu parenting memang harus disesuaikan dengan kenyamanan keluarga. Tanpa melupakan prinsip dasar dari ilmu parenting yang sudah dibuktikan secara ilmiah.