Usia kita terpaut empat tahun. Entah hanya ilusi atau kenangan itu memang benar. Dulu saat usiaku empaylt tahun aku sudah belajar memangkumu. Dengan pengawasan ibumu tentunya.
Ibumu adalah bulek kesayanganku. Saat beliau menikah, aku cemburu bukan main. Aku merasa bapakmu merebutnya dari ku. Aku sempat berfikir untuk merusak motornya, mengempeskan bannya. Wkwkkw.. yah, namanya juga cemburunya anak kecil.
Saat kau lahir, aku ingat betul tempatnya. Di rumah bidan di dekat perempatan jetis. Aku dan ibuku setia menunggui kamu dan ibumu.
Setelah pulanh dari rumah bidan. Aku dan ibuku juga tetap setia menunggui kalian di rumah mbok’e. Setiap pagi dan siang, kamu tidur di “amben” depan pintu. Aku bertuas menungguimu saat ibumu mau ke dapur, mau ke kamar mandi, atau sekedar ke kamar menganmbil ini dan itu. Saat aku hanya berdua denganmu, ibumu selalu berpesan, “Mbak nikma jagain ya, ojo diculek, ojo dikipasi ritek, kipase diobahne lek adek diencok’i jingklong utowo laler.”
Begitulah aku menghabiskan waktuku saat kamu masih bayi. Waktu beranjak cepat. Saat aku sdh TK, kamu berusia 1 tahun, mulai berceloteh. Kamu ingat menyaksikan pawai TK ku dulu? Kamu menungguku lewat di halaman rumah, tanpa memakai celana. Ibuku bercerita tadi sepanjang menunggu mobil pawai TK ku lewat, kamu bernyanyi, “pak ici, pak ala, pak ici, pak ala” karena banyak peserta pawai yang cosplay menjadi polisi dan tentara. Kamu imut dan pintar sekali.
Aku masih ingat juga bagaimana aku dimarahi ibuku dan ibumu saat aku hendak bermain bersama teman-temanku. Mereka melarangku karena kamu mencariku. Kamu selalu ingin bermain denganku. Aku mengalah. Memilih bermain denganmu dari pada bermain dengan teman-temanku.
Saat kamu beranjak lebih besar, kita sering menghabiskan waktu bermain dam-daman, bermain ular tangga, monopoli, sampai bermain karambol. Saat aku kuliah, kamu menungguku untuk sekedar mengantarkanmu beli baju di distro.
Saat kamu mau memasuki jenjang SMA, kamu juga menungguku untuk mengamtarkanmu daftar dan tes di SMA 2. SMA ku dulu. Sayang kamu tidak lolos.
Akhirnya kita mencari-cari SMA lain. Dan inilah penyesalan terbesarku. Aku menyesal mengantarkanmu ke SMA mu itu. Walaupun itu sudah takdirmu. Bukankah takdir adalah akumulasi dari banyak pilihan. Penyesalanku mengantarmu kesana, mungkin kamu tau sendiri. Mengantarmu menjalani kehidupan seperti di neraka. Kamu sering dicaci kan? Kamu sering diremehkan?
Kamu mengorbankan terlalu banyak, hanya untuk mempertahankannya.
Dengan segala histori masa kecil kita. Aku harap kamu paham, kenapa aku sangat kecewa. Aku menyayangimu, mungkin lebih dibanding sepupu kita yang lain. Maka aku lah orang yang paling merasa tersakiti, saat kamu berbuat hal yang melampaui batas.
Kamu bilang aku terhasut untuk membencimu? Bagaimana bisa, jika buktinya terpampang nyata. Lalu apakah aku harus mempercayaimu setelah merasakan pengingkaran janjimu?
Setelah semua lembaran dan kekacauan ini. Aku akan berhenti memikirkanmu. Tidak ada lagi sakit hati. Semua akan ku hapuskan. Entah apapun kebenarannya. Semoga kamu tidak lagi hidup bagai di neraka. Belajarlah untuk merasa bersalah. Belajarlah mengakui kesalahan. Jangan merasa dunia kejam kepadamu tanpa kamu bercermin dengan apa yang telah kamu lakukan.







